- makan untuk hidup, tapi hidup bukan untuk makan saja -

Punya Selera Kuliner Tinggi Itu Merepotkan

Umumnya, mereka yang pintar² atau mahir² dalam memasak pasti akan dengan mudah menilai masakan yang biasa² saja, karena ketika mereka menilainya maka yang akan dibandingkan adalah masakan buatannya. "Tidak enak, tidak seenak kalau aku yang buat."

Seleranya jadi sangat tinggi ketika disodorkan menu masakan yang ditemui. Mereka langsung akan menilai kualitas masakan atau makanan tersebut

Saya tidak tahu ini berlaku juga untuk mereka yang kelas master cheff atau malah orang yang bisa atau mahir masak umumnya begitu semua? 

Ilustrasi, gambar dibantu oleh ChatGPT

Jadi begini setiap kali mengajak makan dengan orang yang bisa/pandai/mahir masak, pasti selalu komentarnya adalah bahwa dia pasti bisa membuat masakan seperti itu. Tetapi jika masakan yang dia cicipi ini kualitasnya sesuai dengan seleranya dan ekspektasinya maka akan komentar nya lebih ke netral. 

Pada akhirnya kalau begitu terus nanti pas lagi sakit, pas nafsu makan berkurang, ditawarin menu makan yang gak sesuai selera efeknya gak mau makan. Ini akan mempersulit kesembuhan. 

Memang tidak semua begitu tapi belakangan yang saya jumpai seperti itu. Ya saya memang jadinya seperti menggeneralisasi apa yang saya temui jadi seperti semuanya begitu. Ya karena memang sejujurnya merepotkan sih. 

Karena begini, kalau mau ngasi sesuatu makanan, jajanan, atau apapun gak bisa yang biasa² saja. Sedangkan circle kita ini adalah orang² biasa yang bisa ditakarlah kualifikasinya. Tapi kadang juga yang nampak gak biasa disodorkan tetap saja komentarnya (-) karena standarnya adalah seleranya. Sulit kan? 

Contoh, ada jajanan apa gitu, misalkan risoles, dimsum, bolu kukus, masakan misal sayur asem, rawon, lodeh dll. apa saja lah itu, dibawakan atau ditawarkan ke yang bisa masak, pasti jarang tanggapan minimal yang netral saja itu sulit, pasti ada komentarnya yang gak jarang lebih ke kurangnya. 

Padahal nih ya, kalau orang² yang biasa saja, tidak punya pengalaman apapun, ketika mencicipi apa yang diberikan  ya akan selalu exiciting dan bersyukur sih, ya terima kasih sudah dikasi kesempatan mencicipi (misalkan dikasi gratis), kalau beli misalnya ya dinikmati tho kan kita butuh makanan itu ya kita beli, enak atau tidak kembali ke selera tapi gak bisa juga kita judge ini dan itu. 

Saya sendiri jarang komentar (-) pada karya buatan siapapun, kecuali ya memang bener² rasanya di luarPpp nalar, entah keasinan, kemanisan, kepahitan, dan kehambaran. Tapi selama masih oke rasanya tentunya akan akan ada komentar (-). 

Karena memasak itu effort apapun hasilnya, minimal tidak dikomentari hanya dinikmati saja sudah senang. Baik itu jika berkomentar yang membangun, yang akhirnya memancing ybs. untuk membuat yang lebih baik, tapi rasanya lebih banyak yang destructive, membuat ybs. trauma dan enggan masak. 

Ya itulah yang sering dijumpai walau tidak semua. Tapi tolonglah,  jika anda memang pandai/mahir/pintar masak, cobalah berkomentar yang lebih baik dan bisa diterima, bahkan saya yang gak memasaknya atau membuatnya, mendengar komentar itu koq ya gimana apalagi yang membuatnya. 

Ini juga berlaku kepada seseorang yang menjual barang apapun itu, terkadang ya kita langsung menjudge "duh kemahalan itu, barang cuma kaya gitu dll."

Oke jika komentar ini disampaikan jaman dulu, orang yang berjualan adalah orang yang punya pace di sana. Tapi sekarang jaman sudah sulit, banyak orang bahkan semua orang berusaha mencari sampingan dan berusaha, entah memasak lalu menjualnya, kulak barang lalu menjualnya, untuk dapat sedikit margin dari apa yang dia jual itu. Mereka belum pengalaman sama sekali. Jadi ya tolong saling mengerti, terkadang kita yang membeli itu niatnya saling membantu, setidaknya apa yang kita beli itu bisa jadi semangatnya, oh ternyata ada jalan, mereka akan berusaha lebih baik. 

Tapi ya itu tadi jika sudah punya selera tertentu orang lebih mudah untuk menilai. Saya beruntung tidak mematok selera yang tinggi, ya walaupun kadang masih tahu lah mana yang mahal atau murahan, tapi apapun yang saya terima ya disyukuri. Kalau misal kapok, ya sudah gak usah beli lagi dan datang lagi ke sana. 

Saya sendiri tipe kapokan, mudah trauma, jadi perjumpaan pertama itu penting, tapi saya memilih untuk ya sudah, asal jangan dipancing gosip aja 🤣. 

Ya itu aja sih komentar dan opini saya ketika menemui apa yang lagi saya bahas ini. Ya jadi keprihatinan saja sih. Selera tinggi itu baik² saja, tapi jika ditambahi sedikit ada 'menghargai' itu lebih baik. Mungkin saja bahasa 'menghargai' mereka berbeda, dan saya harus bisa memahami itu. 

Karena saya juga menyadari saya banyak kelemahan juga, diksi² yang gak pas, selalu salah momen yang sebenarnya gak ada niat buruk, tapi selalu dinilai salah terus. Mungkin pada case ini situasinya serupa dan itu menuntut saya memahami hal itu. 

Ya begitu saja sih, hanya membagi uneg² yang tidak bisa keluar dengan berbicara atau mengobrol karena keadaannya gak mendukung saya untuk itu, catatan ini bisa jadi sedikit saluran menyampaikan apa yang saya pikirkan.

Jika ada komentar, coba sharing juga dibawah, bagaimana sudut pandang kalian menilai case seperti itu, atau anda yang memang dari sisi yang berselera tinggi bagaimana menilai sesuatu. Gak usah diperdebatkan, disampaikan saja supaya bisa saling memahami, supaya bisa ketemu jalan tengahnya. Sekalian jadi bahan refleksi juga. -cpr

#onedayonepost
#opini
#umum
#seleratinggi
#refleksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ini tempat untuk berinteraksi, ketika ada ide yang lain atau sumbang saran, di sini tempatnya. Salam kenal sebelumnya :)

Adbox